Muhammadiyah
selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang
dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath”
yang proporsional.
Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.
Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah
berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh
Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang
kontekstual dan bersifat (lebih) operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs.
Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang -- mungkin saja – linear atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”.
0 komentar:
Posting Komentar